4 April 2014

Klise

      Aku menundukan kepalaku dalam dalam, melihatnya yang sudah tak bernafas. Terkubur oleh segumpalan tanah yang menutupi seluruh permukaan wajah, atau bahkan seluruh tubuhnya. Ah.. Kau teralu cepat pergi! Ku pegang nisan itu, bewarna putih, masih baru. Mungkin, sekarang air mataku sudah mengalir membasahi seluruh permukaan wajahku. Entah, sampai kapan air mata ini berhenti, tak menangis lagi. Rasanya tak bisa! Dia selalu membayang di benakku, selalu ku simpan dalam hati.
*
          Kenapa, kenapa kau pergi secepat ini, Kyu! Kenapa? Mana janji mu, janji yang selalu kau ucap sebelum meninggalkan aku, benar benar meninggalkan aku. Dan takkan kembali, dihilang oleh waktu. Terasa sangat terasa, tak ada lentera di hatiku tanpa kamu. Tak ada canda tawa yang kau berikan. Aku hampa, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku rindu, walau kau hanya pergi satu detik dalam hidupku. Kenapa? Jawab, Kyu!!!
*
          Ku tutup lembaran buku itu. Aku menghapus air mata yang masih berada di pipiku. Ah, malam ini benar benar dingin, membuatku merasa gila. Sama seperti tak adanya dirimu. Aku menyibak gorden kamarku pelan. Ingin mengetahui betapa gelapnya malam di kota kecil ini di Korea. Gerlapnya lampu lampu rumah, tak sebanding. Tak bisa menerangi hatiku sekarang, tak bisa selamanya.

“Besok aku akan temui kau, di Rain café. Ku tunggu jam 5 sore.”
Mm.. Lihat saja nanti!,..” Tittt.. aku mematikan sambungan telfon dari seseorang di penghujung sana. Entah, niat tidak niat untuk mendatangi dia. Besok, tepat jam 5, tepat saat Kyu meninggalkanku kemarin lusa. Tepat saat itu juga aku harus menerima semua kenyataan hidup.
*
          Aku belari dari derasnya hujan menuju café yang di katakan oleh Kim. Café ini, aku paling tidak suka dengan café ini. Entah mengapa, aku juga tak tahu. Ku buka pintu masuk café ini, yang berdinding kaca. Café ini memang berkaca transparan, sehingga membuat jalanan di luar terlihat jelas dari dalam. Begitupun sebaliknya. Aroma khas hujan mulai terasa saat ku menginjakan café ini. Di tambah, dengan derasnya hujan di luar. Rasanya awan gelappun, belum siap untuk meninggalkan kota kecil nan indah ini. Entah mengapa.
“Tiffany!” Aku mendengar suara yang memanggilku. Aku menengok kearah belakang. Rupanya Kim telah duduk di dekat dinding kaca café ini. Ku arahkan jalanku menujunya, yang tengah tersenyum. Sedikit aneh! Biasanya Kim selalu jauh dari kata kerapian, tapi entah sekarang yang membuatnya begitu rapi namun simple. Memakai kemeja merah maroon dengan celana panjang hitamnya. Juga rambutnya yang jauh lebih rapih di banding kemarin kemarin.
“Duduk sini. Aku sudah pesankan minuman kesukaanmu. Vanilla late, kan?” Aku mengangguk, kemudian duduk berhadapan dengannya. Ku hirup secangkir vanilla late yang sudah di pesankan oleh Kim tadi. Hangat, menghangatkan tenggorokan keringku.
“Ada apa? Kenapa kau mengajaku kesini? Kenapa tidak ke café biasanya?” Aku bertanya padanya setelah sedikit meminum vanilla late. Kim tersenyum, menampakan barisan gigi putihnya.
“Aku hanya ingin berbicara padamu!”
“Apa?” Ku sahut perkataannya dengan cepat. Ia menunduk sebentar, entah melakukan apa dalam tundukannya itu. Kemudian mendongkak kearahku, tersenyum lagi.
“Aku menyayangimu!” Prangg.. Suara itu cukup mengejutkanku. Ku tengok arah suara di sampingku. Rupanya pelayan, yang sedang membersihkan serpihan beling dari gelas. Mungkin, tadi gelas itu jatuh, sehingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring di telingaku.
“Maaf, tadi kau bicara apa Kim?” Ku Tanya hal itu sekali lagi. Kim menghirup nafasnya perlahan, kemudian menghempaskannya. Berulang kali ia melakukan itu. Tiba tiba, ia memegang kedua tanganku. Entah untuk maksud tujuan apa. Rasanya dia akan berbicara hal yang cukup serius baginya.
“Mungkin ini teralu cepat untukmu Tif! Tapi aku tak bisa jika harus menahan perasaan ini sendiri. Aku sakit, melihatmu dekat dengan Kyu waktu itu. Dan.. Aku menyayangimu, Tiffany!” Deggg.. Jantungku seakan berhenti berdetak sekarang. Rasanya ini tak mungkin Kim akan mengatakan begitu. Bukannya aku menolak, tapi apa dia tak melihat keadaanku sekarang? Kondisi ku saat ini setelah kehilangan Kyu? Kenapa? Kenapa kau malah menambah masalah baru, Kim!
“Maaf,!!” Segera ku lepaskan genggaman tangan miliknya. Kemudian pergi dari Rain café ini. Mungkin Kim tau maksud dari kata yang baru kuucapkan- maaf. Tapi memang itu, aku tak bisa menjawab iya atau tidak. Aku tak ingin merusah persahabatan kita, aku juga masih kehilangan Kyu. Tapi, kenapa kau malah memikirkan egomu saja Kim?
*
          Aku sakit karena mu, Kim. Kau pasti tau, aku baru saja kehilangan orang yang sangat ku sayangi, Kyuhyun. Tapi dengan begitu cepatnya, kau melontarkan kata yang sama sekali tak ku harapkan. Sama sekali tak ku inginkan dari mu.
          Kenapa Kim? Aku begitu sangat kehilangan sosok yang ku sayangi, tapi kau malah berfikir aku akan menggantikannya dengan sosok yang baru- kamu? Iya? Tidak! Tidak ada yang bisa menggantikan sosok Kyu. Aku begitu menyayanginya, tak mudah bagiku untuk melepaskannya. Aku kecewa denganmu, Kim!

          Ku tulis itu di buku harian ku. Bewarna old purple dengan pita kuning di sudut atas pinggirnya. Ku tutup buku itu, sehabis melampiaskan apa yang kurasa. Seperti pada malam kemarin, malam ini begitu dingin. Melebihi dingin dari malam kemarin.
*
          Aku melihat hujannya malam ini. Bukan! Bahkan aku merasakan rintikan hujan itu membasahi seluruh tubuhku. Diatas gedung ini, tepatnya. Entah, ini merupakan tempat yang sering ku kunjungi. Kau jangan menganggapku gila, aku takkan melompat dari atas gedung ini walau sekarang hati ini serasa begitu sakit. Aku tak sebodoh yang kau kira. Kau pikir aku akan mengakhiri hidupku ini dengan melompat begitu saja? Sangat tidak baik!!
          Aku membentangkan kedua tangan ku, mengadahkan wajah ku menghadap langit malam, gelap, hanya betabur beberapa bintang tanpa adanya rembulan. Tuhan memang telah menurunkan wanita secantik dirimu, Tiffany! Tapi kau malah menyakiti hatiku, walau itu hanya kata ‘Maaf’ yang terlontar dari bibir indahmu. Iya, aku tau! Aku memang egois menurutmu, tapi tidak menurutku. Kamu yang egois, tak pernah memikirkan diriku yang sakit, melihat mu dengan Kyu- sahabatku.

          Biar hujan ini, mengguyur tubuhku. Melepas semua kesahku, kemudian berganti menjadi hari baru di hidupku. Aku percaya, kau bisa menyayangiku perlahan lahan. Seperti aku yang menyayangimu sepenuh hatiku. Biar rasa ini terus ada, mendampingi dirimu di mana saja. Biar ini hanya menjadi mimpi, yang entah sampai kapan bisa menjadi sebuah realita, kenyataan. Biar waktu yang akan menjawabnya, entah sampai kapan. Love you.. I am really love you.

Cr: Mardita Khusnulia

28 Januari 2014

Sepauntumn

1 September 2006
          Aku tau kau sangat menyukai berbagai hal dari tempat ini. Entah, itu di mulai dari drama, fashion maupun segala tempat hiburan yang menarik. Tapi aku tak pernah menyangka, jika kau sangat menyukai musim gugur di Korea. Kau bilang, daun daun di musim gugur itu menimbulkan kesan romantic. Kau sangat suka  ketika daun daun berwarna hijau itu akan mulai berubah warna menjadi kuning kemerahan sebelum akhirnya gugur. Meranggas perlahan lahan dari pohonnya.
“Itu sama saja. Aku juga akan merasakan hal yang indah itu nantinya. Ketika daun daun dalam diriku berguguran lalu terbang diatas tanah. Walaupun itu sakit, Vin. Tapi semua manusia pasti merasakannya.”
          Kau pernah bilang kepadaku, bahwa kau ingin menikmati musim gugur di Korea. Kau ingin melihat, terjadinya perubahan perubahan pada musim gugur. Kau ingin merasakan, ketika angin berhembus membuat dedaunan gugur satu persatu dan membentuk hamparan daun yang cantik. Indah sekali!
“Tapi apa mungkin, aku akan menikmati hal itu! Aku sangat menginginkannya!” ucapmu saat itu. Ingatan itu kembali menghampiriku. Saat itu kau benar benar sedang merasakan kesakitan pada tubuhmu, waktu itu. Sehingga hal itu membuatmu tak bisa berangkat ke Korea. Aku tau perasaanmu waktu itu, kau kecewa, kau tak bisa melihat musim gugur itu nantinya.
“Iya, aku tau! Tapi kau sedang sakit. Aku tak ingin penyakitmu itu tambah parah!” aku yang waktu itu melihat air matamu mulai turun, segera menghapusnya. Aku tak ingin, air mata itu berada di wajah manismu.
**
2 September 2007
          Tahun kedua aku berada di sini. Di tempat ini, seperti apa yang kau inginkan. Aku masih mengingatnya, saat kau ingin sekali menginjakan kakimu di sini. Ingin melihat senja saat musim gugur tiba. Dan tiba, pada saat kau memang harus pergi. Kau menyuruhku untuk melihat senja di Soul saat musim gugur. Aku disini. Telah memenuhi permintaanmu, saat kau memang ingin aku yang melihatnya dalam kehampaan. Tanpa mu. Kesunyian, mungkin hanya ada bayangan putihmu yang tak dapat ku lihat oleh kedua bola mataku.
          Sekarang aku mengerti, mengapa kau sangat ingin melihat Senja di sini. Panorama senja di sini memang sangat indah, mungkin seperti apa yang kau bayangkan. Di pantai, saat air laut bergemuruh. Burung burung dalam bayangan hitamnya berterbangan kesana kesini. Detik detik sesaat matahari telah tenggelam di ufuk sana, dan berganti menjadi rembulan yang siap menerangi di saat semua orang terlelap tidur. Dan saat langit mulai berubah, menampakan aurora orangenya dengan musim gugur saat ini. Ini memang indah! Aku mengakuinya.
“Saat matahari mulai berganti menjadi rembulan, saat burung burung berkicauan terbang kesana kemari, dan saat mega merah mulai terlihat langit ketika musim gugur sedang terjadi. Kau tau? Aku sangat ingin melihatnya di sana. Aku ingin melihatnya dengan ke dua bola mataku. Aku ingin merasakan apa yang seperti yang ku inginkan.” Kau tersenyum kala itu. Walau ku lihat, ada pancaran ketidak pastian dari kedua bola matamu. Antara yakin dan tidak yakin kau akan benar benar di sana nanti.
“Aku benar benar ingin merasakan musim gugur di sana, Vin!”
**
3 September 2008
          Silih bergantinya hari. Silih bergantinya waktu yang terus memutarkan roda kehidupan. Aku melihat wajahmu yang tak sama seperti dulu. Bukan karena kau tak cantik, karena kau makin cantik setiap harinya. Meskipun, penyakit itu masih ingin berada di dirimu. Mungkin penyakit itu membantumu untuk menjadi sosok wanita yang kuat, yang tak mudah menyerah. Rambut panjangmu yang tebal, kini hanya ada beberapa helai yang masih berada di kepalamu. Aku tak tega melihatmu begini, terus dalam penderitaan yang tak di inginkan sama sekali.
“Kau tau Vin? Ku rasa aku termasuk orang orang yang beruntung di dunia ini. Aku mempunyai sahabat yang siap menjagaku apapun yang terjadi dalam hidupku.”
          Aku masih mengingat, ketika kau bilang, kau ingin bermain layang layang ketika musim gugur berada. Tahun ini, aku menggenggam layang layang ini. Menatap langit yang penuh dengan hiasan hiasan benda terbang. Layang layang! Layang layang itu menutupi langit biru ketika musim gugur berlangsung. Tapi aku senang dengan adanya itu.
“Benda terbang, ketika musim gugur mungkin langit akan jauh lebih indah. Aku ingin memainkannya bersamamu..” ucapmu waktu itu. Ku lihat rambut hitam yang tipis itu lepas dari akarnya. Satu helai, dua helai, tiga helai. Aku tak kuat, ketika kau harus benar benar rela, benda itu sudah tiada lagi. Aku tak ingin melihatmu menangis. Aku sama sekali tak menginginkannya.
“Vin! Nanti kalau aku sudah benar benar sembuh dari ini, kau mau ya, menemaniku di sana. Bermain layang layang ketika musim gugur berlangsung.” Aku mengangguk, mengiyakan ucapanmu. Ku dengar, deru suaramu yang makin lama berbeda. Aku takut, ketika tak mendengar suaramu lagi setiap harinya. Tak ada yang memarahi aku, ketika aku berbuat salah. Dan tak ada, ketika aku benar benar membutuhkan hiburan ketika kau benar benar harus pergi.
**
4 September 2009
          1, 2, 3, Terhitung tiga tahun aku berada di sini. Entah, sampai kapan aku masih ingin menikmati musim gugur di tempat ini. Kata mu, mungkin musim gugur di tempat ini adalah hal yang paling romantic. Aku mengiyakannya dulu, dan sekarang tidak. Tak ada yang romantic atau special dari musim gugur di sini. Meskipun pemandangan saat musim gugur, daun daun yang berjatuhan sangatlah indah. Namun tetap saja, hanya ada angin yang setia menemaniku singgah di sini.
“Fiuhh…” desismu waktu itu, ketika kau sedang menyisir sebagian rambutmu. Tampak raut wajah kecewa dengan ini semua terlihat di wajahmu. Aku mengerti akan hal itu. Kau sangat suka dengan rambut hitam panjangmu, tapi kau tidak bisa berbuat apa lagi ketika rambut rambut itu sudah harus pergi. Dan kau harus merelakannya.
“Vin, jika aku sudah tidak ada lagi di sini. Aku mau kamu selalu mengingatku, jangan pernah lupakan aku sama sekali ya Vin. Coz you are important for me..” Ucapmu waktu itu. Kau memainkan bunga dandelion yang baru ku petik di taman belakang. Wajahmu menebarkan senyuman padaku, kau memandangku penuh arti. Aku bisa merasakannya dari tatapan yang susah untuk ku jelaskan.
“Bila nanti kalau kau mengangenkanku Vin, aku ingin kamu meniup bunga dandelion ini. Siapa tau, putik putik itu bisa sampai ketanganku Vin. Ya.. walaupun aku tau, itu susah untuk di percaya.”
“Kamu tau Vin, Cinta itu tak memandang apa yang ada di depannya. Cinta itu tidak memandang dari segi materi. Cinta tak memandang apapun yang di milikinya. Tapi cinta memandang dari segi hati. Cinta memandang sisi kesetiaan yang masih ada untuknya.” Aku mengangguk atas ucapanmu itu. Sedikit mengerti, walaupun jauh dari kata kemengertian dari ku. Ku lihat, wajahmu yang semakin pucat. Bibirmu yang terus mengeriput. Aku tau, kau menahan sakit untuk hal ini. Sakit yang tak ada di diriku. Jikalau kamu bisa membagi rasa sakit pada dirimu itu, aku ingin merasakannya. Aku tak ingin, kamu bediri menopang tubuh lemahmu itu sendirian. Aku ingin menjadi sandaran dalam setiap detik hidupmu.
**
          Tahun ini, tak ada satupun yang istimewa dari hal ini. Aku melihat musim gugur dalam kehampaan, kesunyian yang bediri dalam hidupku. Terkadang ketika aku berjalan, aku sering menemukan bayangan angin yang berada di sampingku. Aku merasakan bahwa kau sedang disini, terbang kesana kemari dengan bebasnya, merasakan musim gugur dalam kehidupan yang berbeda.
          Kau benar, Cinta tak memandang apa yang di depannya, tapi cinta memandang dari hati, dari sisi kesetian yang ada. Aku akan mencintaimu sebagai seorang sahabat yang selalu setia memberikanmu doa agar kau tenang di sana. Aku akan setia, mengingat persahabatan kita yang tidak bisa di bilang sebentar. Aku akan setia menjaga rasa sayangku padamu sahabatku, Naila.

Cr: Mardita Khusnulia

I Hate you

Prangg…
“Kakak!” ku ucap kata itu dengan keras, ketika mendapati kakakku yang sedang berjongkok didekat meja belajarku. Perlahan, ku mendekat kearahnya, melihat apa yang sedang dilakukan oleh kakakku lagi. Mataku membulat, ketika mengetahui kakakku yang sedang..
“Ya ampun.. Kakak kok bisa kotak musiknya jatuh. Kakak taukan, itu kotak musik kenangan dari Fahri. Ahh..” Aku mendesah cukup keras kearah kakakku itu. Berbuat ulah lagi, rasanya tak ada habisnya kakakku itu berbuat ulah denganku. Kesal. Sudah beberapa kali kakakku menjatuhkan barang barang yang berada dikamarku, hingga rusak.
          Mengetahui suaraku yang membentaknya, kakak menoleh kearahku dengan tatapannya yang melas. Ini nih, yang bikin aku geregetan sama dia. Bukan karena kasihan, tapi makin kesal dengan sikapnya itu.
“Kakak benar benar nggak sengaja. Lagian juga, itu juga salah kamu. Kenapa kamu taruh kotak musiknya dipinggir meja.” Loh,loh, loh loh? Kok malah balik nyalahin. Aku menggerutu sendiri, ketika kakakku melontarkan kata itu.
“Kalau nggak ada yang nyenggol kotak musiknya, mana mungkin kotak musiknya jatuh walaupun aku taruh dipinggir. Kakak juga, jalan nggak pakai mata.”
“Dimana mana jalan pakai kaki bukan Mata!” Ish.. ini juga bukannya minta maaf, malah balik bantah. Lagian juga ngapain sih, dia masuk kekamarku tanpa izin. Nggak punya sopan santun bangat sih.
“Udah ah.. benerin sendiri tuh kotak musiknya. Itu kan punya kamu, bukan punya kakak!” Aku menganga cukup lebar, melihat kakakku yang pelan pelan keluar dari kamarku. Kok, jadi aku yang benerin? Mustinya yang tanggung jawab itu yang ngerusakin, kok jadi.. Ah.. aku sebal, kesal dengan kakakku yang satu itu.
**
“Nih, benar atau salah?” ku arahkan telunjukku menuju yang ku maksud. Kakakku, tapi bukan yang sering bertengkar denganku. Dia Fani, kakak yang paling aku sayangi. Pintar, baik, pokoknya she is perfect! Kak Fani mengangguk, tanda kalau jawaban yang kutulis itu benar.
“Hmm.. coba kerjakan yang ini. Yakin deh kamu bisa!” Aku mengulas senyum pada Kak Fani. Dia kembali memainkan handphonenya, entah untuk apa. Ku kembali arahkan tanganku untuk mengerjakan soal soal yang Kak Fani berikan untuk persiapan ujian nanti.
Crkkk ..
“Kakak!” Aku kembali berteriak, membulatkan mataku tepat berada dibukuku. Air itu mengalir di permukaan kertas yang berisi banyak soal soal yang Kak Fani berikan. Itu penting, buat persiapan ujian nanti.
“Nggak sengaja!”
“Ah.. kakak maunya apa sih. Inikan buat aku ujian kak Retno! Pakai acara numpahin gelas dalam air lagi, kan jadi basah!” Aku menggerutu didepan kakakku. Retno. Aku mendongkak, melihat kearah Kak Retno yang sedang tersenyum tanpa salah. Mukaku memerah, mungkin sebentar lagi akan meledak menghancurkan muka jelek kakakku itu. Eits.. kakakku memang nggak jelek jelek bangat sih, dia ganteng, buktinya banyak perempuan yang suka sama dia. Itu satu satunya hal yang kubanggakan sama dia. Kembali lagi, ingin aku merauki muka kakakku, mencakarnya sampai benar benar terlupas kulitnya, lalu mematahkan tangannya itu sampai benar benar tak terbentuk lagi. Kemudian merebusnya sampai benar benar menjadi bubur lalu ku kasih pada anjing milik tetangga. Masa bodo, aku nggak pengin makan bubur kakakku itu.
“Kan kakak bilang, nggak sengaja Reya! Lagian juga kamu..
“Apa? Mau nyalahin aku lagi, kalau aku naruh gelasnya di samping buku, iya?” Ku sela perkataan kakakku itu dengan cepat. Jawaban itu yang selalu dilontarkannya ketika ingin menyalahiku lagi, dan lagi. Kakakku tersenyum, menunjukan ibu jarinya tepat berada dihadapanku.
“Betul.” Ish.. aku menepisnya. Kesal… Kenapa sih, harus ada Kak Retno didunia ini? Kenapa aku harus jadi anak bungsu yang mempunyai kakak seperti dia. Ok, kalau Kak Fani it’s no problem. Tapi ini ini nih, dia yang paling aku sebelin. My brother, Retno!
**
Gdbarkk.. Ok ok, itu paling suara kak Retno yang memecahkan barangku, atau yang menubruk sesuatu. Kali ini aku malas, untuk berurusan dengannya hari ini. Toh, ujung ujungnya juga aku yang disalahin. Lagian juga kenapa sih, Kak Retno seneng bangat main dikamarku, padahal kan dia punya kamarnya sendiri. Tau deh, seneng bangat dia ngancurin barang barang yang berada dikamarku.
Gdbrakkk.. Suara itu kembali terdengar, namun yang kali ini cukup terdengar lebih keras dibanding dengan sebelumnya. Sebenarnya Kak Retno ngapain sih? Sampai bisa bisanya jatuhin barangku sampai dua kali begitu. Aneh.. Segera ku sambar gigitan roti tawar terakhirku. Melepas.. ingin tau apa yang sebenarnya terjadi pada Kak Retno.

Ku arahkan tanganku pada daun pintu, membuka kamarku. Cklek.. begitu bunyinya. Ku buka perlahan pintu kamarku. Tebakkanku, pasti Kak Retno lagi berjongkok membereskan sesuatu yang dijatuhkannya. Atau sedang mengumpatkan barang itu, biar tidak di ketahui olehku.
Loh.. loh.. loh? Mataku seakan terbelalak. Kamarku kosong? Nggak ada pecahan atau bekas barang jatuh dilantai. Kasurpun rapih, seperti pada awalnya. Terus, tadi suara apa? Arghh.. Segera ku menuju kamar mandiku, ketika mendengar erangan seseorang dikamarku. Kakakkk???
**
          Ngiung ngiung.. ngiung ngiung.. Ambulan itu lewat didepanku. Tepat didepan pandangan mataku. Aku memandangnya sampai benar benar pergi. Ah.. jika aku dapat kembali kemasa lalu, akan ku perbaiki semua sikapku padanya. Ambulan itu mengingatkanku, sangat. Mengingatkanku pada 6 bulan yang lalu. Tepat dimana saat Kak Retno dibawa kerumah sakit. Dimana aku memegangi tangannya, untuk menguatkannya, didalam ambulan itu. Aku masih ingat persis, bagaimana senyum terakhirnya. Bagaimana dia masih bisa meledekku dan menjailiku untuk terakhirnya.
 Bodoh, kata itu mungkin sangat tepat untukku. Kenapa aku baru menyadari saat dia sakit. Kenapa aku baru menyadari kenapa ia sering berkunjung kekamarku. Kenapa dia sering terjatuh, Kenapa Reya? Kenapa dirimu baru menyadari itu. Kalau aku tau sejak dulu, pasti aku takkan membentaknya. Takkan mungkin marah padanya. Itu semua benar, karena ketidak sengajaannya. Dia memang sering jatuh, kenapa aku baru tersadar akan ciri ciri itu. Ciri ciri pernyakit yang ada ditubuh Kak Retno. Kenapa Reya?
Kenapa aku mengatakan pada dunia bahwa aku membencinya? Kenapa aku mengatakan bahwa aku tak ingin memiliki kak Retno? Aku menyesal, telah mengatakan hal itu. Kalau saja, aku tak mengatakkannya, mungkin ucapan itu takkan menjadi kenyataan. 


Cr: Mardita Khusnulia

Mencintai Tak Ingin Dicinta

Sudah sekian lama Rian dan Rianti menjalin suatu hubungan yang baik. Dengan rasa pengertian dan kasih sayang kepadanya, hubungannya sudah menginjak 2 tahun. Lambat laun, Rian dan Rianti pun meminang bahtera rumah tangga.
“Ian, kamu mau ngomong apa? Kayaknya serius bangat!” Tanya Rianti
“Ini loh dek.. Ah.. mm em..” jawabnya terbata bata
“Bang Ian tuh kalau ngomong mulutnya jangan belepotan ding. Aaa.. jangan jangan abang groginya ngeliat mukaku yang kece ini!”
“Hehe.. bisa aja kamu! Anti aku Cuma mau bilang, bahwa aku ingin menikahimu,” kata Rian dengan perasaan yang sangat hati hati.
“Waduh!, gimana ya…” jawab Rianti bingung.
“Loh, kok bingung? Kita sudah kenal dekat, malah sudah punya ikatan pula. Kenapa tidak?” dengan wajah meyakinkan
“Aku nggak mau terburu buru, bang!” jawab Rianti lirih.
          Sesaat Rianti pun kembali menlihat masa lalunya, yang saat itu ibunya depresi gara gara ayahnya tewas. Akibat kecelakaan beruntun. Dia pun bertekad bahwa jika ia mempunyai kekasih, jangan teralu percaya akan cowok itu. Meski cowok itu telah meyakinkan hatinya untuk menjadi pendqampung hidupnya.
“Bang, Anti butuh waktu dulu untuk memikirkan gimana baiknya hubungan kita.” Perasaan meyakinkan
“Yasudah, kalau itu maunya dek Anti. Nggak apa apa!”
**
6 Bulan Kemudian
          Rianti jatuh sakit gara gara jatuh dari tangga 5 hari yang lalu. Dengan setia Rian mendampingi Rianti di masa sakitnya. Dalam benaknya Rian, ingin sekali menikahi Rianti. Tapi apa daya, Rianti pun belum memberikan jawabannya. Padahal, hubungan mereka sudah di restui oleh kedua belah pihak keluarga masing masing. ‘apa mungkin, dia tidak mencintaiku?’ Tanya Rian dalam hatinya.
“Ah, tapi aku nggak boleh berfikiran seperti itu!” celetuknya, yang membuat Rianti terbangun.
“Bang Ian belum pulang juga?” Tanya Rianti
“Belum, abang mau nemenin Anti di sini sampai sembuh!”
“Makasih ya bang!”
          3 hari pun telah berlalu. Rianti yang kemarin terbaring lemah di tempat tidur, sudah kembali kerja di kantornya.
**
-Di kantor-
“Pagi Rianti!” sapa OB kantor
“Pagi mang Ujang! Oh ya, nanti anterin cokelat hangatnya ya!” pintanya.
“Oh baik neng!”
          Setibanya di ruang kantornya, ia di sambut dengan tumpukan map map warna pelangi. Maklumlah, udah semunggu lebih dia tidak masuk antor. Ya.. kalau ngandelin seketaris, kasihan juga. Ya nggak??
“Hufft.. mapnya banyak banget nih! Kerja ekstra nih!!” Tak lama kemudian Mang ujangpun tiba dengan membawa secangkir cokelat hangat yang di pesannya.
**
-Jam Makan Siang-
          Mobil Ferrari merah pun sudah ada di pakiran, dan itu tandanya Rian datang untuk mengajak Rianti makan siang.
“Hai!” sapa wanita yang langsung duduk di samping Rian
“You have lunch?” Tanya Rian
“Heheh.. belum! Udah kita makan yuk!” ajak Rianti.
          Mereka pun langsung meluncur di restoran faforit mereka, yaitu Sepele (special pecel lelel). Selesai makan, Rian pun kembali mengungkit masalah tentang pernikahannya. Namun lagi lagi, Rianti menolaknya. Entah apa yang membuat Rianti menjadi seperti itu.
“Bang, Anti untuk saat ini benar benar belum focus untuk masalah ini. Aku hanya ingin focus dengan kariri di bidang property!” jelas Rianti
“Tapi dek, kita udah lama berpacaran. Aku juga bahkan besabar tenatng masalah ini. Menunggu kamu untuk jawaban yang pasti!” jelas Rian. Rianti terdiam.
“Dek, aku mau nanya sesuatu. Kamu jawab yang jujur ya..”
“Emangnya, bang Rian mau nanya apa?”
“Rianti, kamu sebenarnya cinta nggak sih sama aku?” setelah mendengar itu, emosi Rianti pun keluar.
“Bang, kamu maunya apa sih?”
“Aku Cuma mau jawaban ‘Iya’ dari mulur kamu!” melas Rian
“Tapi, aku belum ada kepastian! Hubungan rumah tangga itu nggak main main, agar kedepannya nanti nggak berhenti di tengah jalan!” jelas Rianti
“Tapi..
“Sudahlah, aku masih cinta kok!”
Dalam hati Rianti, perasaan mencintai Rian pun tak menyantol sama sekali di hatinya. Meski ia sudah mencoba yang terbaik di depannya.
**
-Pulang Makan Siang-
“Dah.. Nanti sekitar jam 5 sore, jemput ya say… J!” rengek Rianti
“Hehehe.. iya sayang..”
          Rianti pun balik ke meja kerjanya. Mendadak ada meeting manager. Ketika sampai di ruang meeting tiba tiba..
          Pandangan Rianti terpanah pada salah satu anggota meeting yang semuanya GM dari perusahaan terkenal.
“Baik Pak, semua file saya akan kirim lewat e-mail!” Rianti”Oke! Saya tunggu!” kata cowok yang terpanah olehnya.
          Perasaan gugup tampak terlihat dari wajah Rianti. Setelah semua selesai dari tumpukan map map, Rianti langsung menuju ke parkiran kantornya, karena Rian telah menunggunya di parkiran.
          Setelah sampai di rumah, Rianti berpamitan pada Rian tanpa ngomong apapaun. Dalam benak Rian, ‘kenapa dia seperti itu ya.. gak biasanya!’ bingung Rian.
**
-Kamar Rianti-
“aduh, gue kesemsem sama Pak Jack!” tiba tiba kotak e-mailnya berbunyi. Dan ternyata dari Pak ack.

Rianti filenya mana? Kok belum di kirim kirim?
Pesan singkat e-mail Jack pun di baca Rianti. Spontan Rianti langsung jingkrak jingkrak gembira.
“Gak nyangka. Mr. kece ngirim e-mail” serus Rianti bahagia. Rianti membalasnya, dengan mengirimkan sebuah file yang di minta Pak Jack. Mr. Kece, itulah sebutan Rianti kepada cowok yang sedang di dambainya.
          Tapi gimana dengan Rian ya?
**
          Suatu hari, Rian pun mengajak Rianti untuk pergi ke rumah orang tuanya. Spontan Rianti pun menolak ajakannya. Tapi apalah daya ini, Rian hanya bisa mengelus dada atas sikap Rianti.
“Kamu kenapa sih akhir akhir ini jadi seperti itu?” Tanya Rian
“Aku nggak pa-pa kok. Cuma aku lagi nggak mau ngomongin pernikahan kita nanti!” Tebak Rianti.
“Kok kamu tau sih?”
“Ya iyalah. Udahlah.. aku capek dan aku nggak mau mikirin masalah ini!” Rianti pun langsung pergi meninggalkan Rian. Perasaan Rian pun hancur lebur. Dalam hatinya bertanya Tanya, kenapa ya orang yang paling aku cintai dan aku sayangi berubah total?
          Sesaat terdengar azan isya. Rian pun bergegas untuk solat berjama’ah di masjid. Da;am doanya, “Ya Allah.. Ya Tu hanku.. Kenapa Rianti kekasih hamba yang saya saya kasihi dan hamba cintai mendadak berubah sikap? Hamba memohon pada Engkau Zat yang Maha Sempurna untuk mengembalikan keadaan seperti dulu lagi. Aamiin ya robbal alamin..”
Sesaat sholat isya, BB Rian berbunyi, dan ternyata itu dari orang tuanya.
“Hallo Umi. Assalamu’alaikum!” Rian
“Wa’alaikum salam, Rian!” umi Syifa
“Ada apa umi? Tumben nelfon!”
“Enggak! Umi lagi kangen sama Rianti”
“Loh kok Rianti yang di kangenin, bukan anaknya sendiri!?” marah Rian
“Hehe.. anak umi marah nih ye..” ledek umi Syifa
“Nggak juga! Umi masak apa? Rian kangen masakan Umi!”
“Umi masak sambal goreng. Kamu main dong ke rumah!, ajak Rianti juga!” Jawab Umi Syifa. Perasaan Rian gelisah setelah mendengar perkataan uminya. Ya.. tau sendiri kalau Rianti menolak ajakan Rian!.
“Hallo? Rian kok sepi?” ucap Umi Syifa.
“Eh iya Umi! Mungkin inyaallah ya Umi, soalnya kerjaan Rianti tuh banyak banget!” dusat Rian
“Oh gitu ya.. yasudah Umi mau bikin kopi buat tamu dulu ya.. ada tamu nih!” pinta Umi. Setelah menutup telfon dari Uminya, Rian bergegas untuk pergi kerumah.
**
-Kamar Rianti-
          Diam diam Rianti menyimpan Pin BB Mr. Kece. Tanpa basa basi, ia mengirim BBM ke hp-nya Mr. Kece. Tak lama Mr. Kece membalasnya.
To     :BX1772P1(Rianti)
          Kamu ini nggak sopan banget sih ngirim ngirim kata kata kayak begitu. Emangnya aku masih bujangan apa? Anak saya lagi sakit ini. Jangan ganggu SAYA!..

Terlihat raut wajah Rianti yang sangat kecewa. Ia sadar, bahwa cinta dan perhatiannya bertepuk sebelah tangan. Sejenak Rianti kebayang akan kekasihnya, Rian. Tanpa berlama lama..
“Hallo.. bang Rian, Assalamu’alaikum!” sapa Rianti.
“Wa’alaikum salam! Tumben nelfon, ada apa dek?”
“Kamu udah makan belum?” Tanya Rianti
“Belum! Kamu?”
“Sama . kita dinner yuk!” ajak Rianti
“Emm… ayok! Au jemput ya..”
“Aku tunggu!”
**
          Kali ini, mereka pergi ke restoran sea food 98, pinggir Pantai Ancol. Mereka pun saling mencuri curi pandang saat itu
“Ih! Lihat lihat! Ada apa sih? Apa aku kegantengan ya?!..” Pd Rian
“Hahaha… Iya, kamu ganteng. Gangguan tenggorokan.” Canda Rianti. Rian pun berfikiran bahwa Rianti selama ini sudah berubah. Tiba tiba..
“Heh! Jiahh… ngelamun!” sentak Rianti.
“Ish.. ngagetin aja! Udah pesan sana. aku gurame krispi sama udang bakar madu. Minumnya es kelapa!” perintah Rian. Seolah olah raja menyuruh dayang cantik.
“Yee.. nyuruh nyuruh!”
‘Kali kali dong sayang..” manja Rian
**
          Setelah dinner berlangsung. Air mata Rianti jatuh, satu demi satu. Dan iya pun mengungkapkan perasaan saat ini pada Rian. Spontan Rian yang melihat bidadari hatinya menangis, langsung mengusap air mata di pipi Rianti. Dan..
“Dek Anti kenapa?” Tanya Rian.
“A.. aku.. udah merasa bersalah sama abang!” lirih Rianti/
“Oh.. itu! Iya aku ngerti. Tapi kenapa sampai neangis kayak gitu?!’
“Selama ini aku menyimpan perasaan pada orang lain!” celetuk Rianti. Rian yang saat itu berada duduk di sampingnya, shock mendengarnya. Dengan raut muka yang kesal, kecewa, dan sedih.
“Apa!!? Jadi selama ini hubungan yang 2 tahun itu, kamu anggap apa!? Atau selama ini, kamu hanya mainin perasaan aku?!” marah Rian
“Bang, aku mohon jangan marah dulu. Aku bisa jelasin semuanya!” tangis Rianti.
“Gak usah kamu jelasin semua! Aku telah bersabar dalam masalah pernikahan kita ke depan. Tapi ternyata, kamu malah menganggap remeh masalah ini dengan alas an inilah,... itulah,..!” jelas Rian.
“Aku minta maaf bang! Memang selama ini Rianti yang salah!”
“He!! Tau nggak?! Taid ba’da isya, Umi Syifa nelfon. Dia nanyain kamu, dia bilang Umi kangen sama kamu!”
“Bang,, sudah! Jangan marah marah lagi! Rianti janji minggu nanti, Rianti akan kerumah Umi Syifa.!” Rianti
“Aku masih nggak percaya, atas kelakuan mu seperti itu! sakit hatiku,.! Asal kamu tau, kalau aku memang benar- bener tulus mencintaimu!” kata Rian.
“Aku janji!”
          Perasaan amarah Rian pada Rianti pun hilang di tengah angin malam pinggir pantai. Mereka pun memutuskan untuk pulang.
**
Esok harinya..
          Rian bergegas untuk pergi ke rumah Uminya di Bilangan Tanjung Priok. Karena ba’da subuh ia mendapat kabar buruk dari kakaknya, bahwa Umi Syifa jatuh sakit. Sesampainya di rumah Uminya.
“Rian! Kamu itu anak durhaka! Sampai menengok kabar Umi pun kamu nggak sempat. Kemana aja kamu selama ini?!” marah Kak Ibrar.
“Kok, kakak ngomong seperti itu! kemarin aku sudah nelfon sama Umi!” alsan Rian.
“Terus.. Rianti mana? Masa calon menantu Umi nggak datang. Nggak perhatian banget sih dia!”
“Kak jangan bawa bawa Rianti! Rian sekarang bingung deh, kok Umi katanya sakit malah nggak kelihatan!” heran Rian.
“Cek aja di kamar Umi!” suruh Kak Ibrar.
          Tiba tiba ketika Rian membuka pintu kamar Umi Syifa..
“Surprise..!!” seru Rianti yang sudah berada di kamar Umi Syifa.
“Selamat Ulang Tahun Rian..!” ucap Mesra dari sang bunda. Raut wajah Rian makin di buat bingung akan kejutan ini. Dan ternyata sekarang tanggal 12 Maret. Rian pun lupa, bahwa hari ini adalah hari jadinya yang ke-23 tahun.
“Kok Rianti ada di sini?” Tanya Rian heran
“Hehehe.. tadi kakak nelfon dia malam malam untuk pergi ke rumah Umi sebelum kamu datang!” jelas Kak Ibrar.
“Lalu.. tadi kakak juga pura pura marah sama aku ya?” Tanya Rian.
“Ya.. iyalah. Kan biar surpies, eh maksudnya surprise.!” Canda Kak Ibrar. Tanpa basa basi Rian memeluk Rianti yang saat itu sedang merangkul pundak Umi Syifa.
“Loh? Kok Rianti yang di peluk! Bukannya Umi!” cegah Umi Syifa
“Kan Umi lagi sakit ni..” rengeknya.
“Umi kan Cuma pura pura sakit!” celetuk Rian.
“Siapa bilang Umi nggak sakit. Buktinya kaki Umi kamu injek, Rian!”
“Aduh maaf Umi. Rian nggak sengaja! Tadi Rian lagi bingung, makanya ngga tau deh, kalau kaki Umi ke injek sama Rian.” Jelas Rian
“Ya udah.. makan dulu yuk. Kalian belum pada sarapan kan?” ajak Kak Ibrar.
“Iya, Umi buatin nasi goreng Cinta!” seru Umi Syifa.
“Kok namanya Nasi goreng Cinta?” Tanya Rianti heran
“Iya, soalnya bikinnya pakai Cinta! Dan di makan untuk orang yang bercinta!” gombal Umi Syifa.
“Hahaha… UUmi nge- gombal! Kayak anak ABG 2013 aja!” kata Rian.
**
          Rian dan Rianti bergegas pergi untuk kembali ke kantornya. Namun, di tengah perjalanan menuju ke kantor. Mobil Ferrari Rian menabrak salah satu pengguna sepeda motor. Dan naaf, Rian yang menabrak motor tersebut pinsan dengan luka di kepalanya. Begitu pula pengemudi motor. Tak lama dengan kejadian itu, Rianti segera memanggil ambulan. Sesampainya di rumah sakit..
“Assalamu’alaikum Umi! Hu.. huu..” tangis Rianti.
“Wa’alaikum salam! Kamu kenapa? Kok nangis gitu!” Tanya Umi Syifa cemas.
“Ini Umi.. Rrr rii aaan.. !” jawab Rianti terbata bata.
“Rian kenapa? Ngomongnya pelan pelan dulu!”
“Tadi, sepulang dari rumah Umi, kita dapat cobaan Umi!” jelas Rianti
“Cobaan apa?” Tanya Umi makin penasaran
“Rian kecelakaan Umi!” singkat Rianti dengan air mata yang melintas id pipinya.
“Innalilahi wainalilahi rojiun..” ucap Umi Syifa
“Tadi sebelum bang Rian pinsan, ia nabrak motor Umi!’ jelas Rianti.
“Ya sudah, Umi ke rumah sakit sekarang! Tapi rumah sakit apa?” Tanya Umi.
“Rumah sakit Meila Cibubur!” jawab Rinati
“Ya tunggu Umi di sana ya.. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!”
          Tak lama kemudian, Dokter yang menangani Rian dan korban tabrakan tersebut, keluar dari ruang UGD.
“Keluarga dari pasien yang berama Rian!?” ucap Dokter tersebut
“Saya dok! Gima keadaan pacar saya?” Tanya Rianti cemas.
“Anda jangan cemas dulu! Kita bicaranya di ruangan saya saja ya..” ajak dokter.
Sesampainya di ruangan Dokter
“Gimana dok pacar saya?” Tanya Rianti dengan air matanya yang masih melintas di pipinya.
“Pacar anda mengalami pendarahan dan trauma yang cukup parah. Kemungkinan pacar anda mengalami amnesia ringan!” jelas dokter.
“Apa dok? Amnesia??!! Apa itu bisa di sembuhkan?” Tanya cemas Rianti.
“Penyakit itu bisa di sembuhkan, dengan terapi jalan. Biasanya penyakit itu akan sembuh 100 persen setelah satu tahun kemudian!” jelas Dokter.
**
          Setelah itu, tak lama kemudian, Umi Syifa dan Kak Ibrar telah menunggu di kamar Rian. Dengan wajah lemas, Rianti pun menceritakan semua yang terjadi. Tak kuasa menahan air maa yang sudah membendung di kelopak matanya. Satu persatu butiran air mata Rianti jatuh semakin deras. Dan menjelaskan kronologi peristiwa itu.
          Hari demi hari di lalui Rianti dengan air mata. Meratapi nasibnya Rian yang masih terbaring lemah di ruang ICU.
**
9 Bulan kemudian
          Hari pun terus berlalu, menanti kesembuhan Rian yang akhir akhir ini terus membaik. Dengan setia dan penuh Cinta Rianti mendampingi Rian dengan sabar dan ikhlas.
          Suatu ketika Rianti yang sedang duduk di samping ranjang Rian, meratapi keaadan Rian. Lagi lagi air matanya mengalir dari matanya yang cokelat.
          ‘Apakah ini sebuah cobaan dariku? Aku yang selama ini tak peduli dengan dia, dan hanya memikirkan seseorang yang selama ini aku kagumi yang sudah mempunyai anak!. Ya Allah, ampuni Aku yang telah berdosa!’ ucapnya dengan penuh penyesalan
          Hari ini wkatunya cek up ke dokter untuk melakukan pemeriksaan dan terapi. Agar keingatan Rian kembali normal seperti dulu.
**
“Rianti! Ada kabar gembir untukmu!” ucap Dokter.
“Kabar apa dok?” Tanya Riani penasaran
“Kondisi Rian 80 persen sudah kembali pulis, mungkin kalau sering cek up dan terapi seperti ini, dalam satu bulan keaadaan Rian kembali seperti sedia kala!” jelas Dokter
“Alhamdulillah, Ya Allah!” ucap Rianti gembira.
**
1 Bulan Kemudian.
“Pagi sayang!” sapaan merdua Rianti.
“Hey! Pagi! Sudah sarapan?” Tanya Rian
“Oh, sure! Kamu?” Rianti Kepo
“Jiahh.. kepo nih!” jawab Rian
“Ih.. jawab dong!” sambil ngelitikin pinggang Rian.
“Hehhe.. sudah sudah geli nih!” tawa Rian. Rianti pun tersenyum bangga melihat senyuman manis Rian. Apalagi tatapannya.. haduhh… Very sharp! *abaikan*
“Woy.. ngelamun. Ngelamunin siapa sih? Aa… ngelamunin bang Rian yang ganteng ini ya..?” GR Rian
“Dih, bisa aja!: ucap Rianti singkat
“Tau lah! Maklum calon isteri bang Rian!” celetuk Rian. Seakan kembali mengungkit masalah itu yang sudah lama tak di bahasnya lagi. Rianti hanya terpaku diam mendengar omongan Rian.
“Kamu kenapa? Mau nolak masalah ini lagi?” Tanya Rian
“A.. emmm.. nggak pa-pa kok! Gima ngomongnya nanti malam saja, sekalian dinner sama Umi Syifa! Terus kak Ibrar di ajak. Aku udah kangen sama mereka!” gugup Rianti sambil mencari cari alas an
“Oh ya nggak pa-pa. Nanti aku kabarin Umi!” Rianpun tak segan dan langsung mengiyakan permintaan Rianti
**
Malam hari pun tiba..
“Sudag pesan dulu sana!” suruh kak Ibrar *korban iklan*
“Hahaha.. kayak iklan mie yang banyak ayamnya!” tawa Rian
“Maklumlah, sekarangkan lagi demam yang begituan.” Ucap kak Ibrar
          Setelah selesai makan, masalah itu di bahas dengan baik baik. Perdebatan yang berlangsung sengit, tapi mereka akhiornya menemukan titik terang. Secara perlahan masalahpun selesai.
“Hoahh.. selesai juga! Alhamdulillah..” ucap syukur Rian.
“Jadi sekarang tinggal pelaksanaannya aja! Oh ya, bang! Aku lupa, rencananya mau nengok Ibu dan Makam ayah!” pinta Rianti
“Oh tentu! Nantio berangkatnya pagi pagi aja, biar gak macet!”
“Ya, nggak apa apa!”
          Merekapun akhirnya pulang kerumah masing masing, Karena hari sudah gelap dan jarum jam sudah menjukan 22.15.
**
“Bu, Rianti datang nih!” ucap Rianti pada Ibunya. Ibu Rianti pun mengerti akan kehadirannnya. Dan langsung memeluk erat anaknya. Lagi dan lagi air mata Rianti jatuh meratapi keadaan ibunya.
“Bu.. Ibu yang sehat ya! Ibu cepat sembuh! Rianti sayang bangat sama Ibu!” ucap Rianti sambil meneteskan satu persatu air matanya. Ibunya hanya mengangguk angguk. Tak lama, Rianti pun berpamitan pada ibunya dan berangkat ke makam ayahnya
“Bu, Rianti pamit dulu ya. Rianti mau pergi. Ibu restuin pernikahan Rianti nantinya ya!” pamit Rianti pada Ibunya sambil meminta restu pada ibunya,
          Lagi lagi, Ibunya hanya mengangguk angguk kepalanya, dan memberikan senyuman tipis.

          Sesampainya di makam ayahnya, terlihat daun daun kering yang sudah menumpuki gundukan tanah kuburan ayahnya
“Assalamu’alaim yah.. Rianti dan Rian datang nih!” sambil membersihkan daun daun yang mengotori makam ayahnya. Setelah itu, Rianti dan Rian duduk di pusaran ayahnya. Sambil melantunkan bacaan surat Yasin.
**
          Hari ini H-2 menjelang pernikahan Rian dan Rianti. Keluarga kedua belah pihak sibuk denan persiapan jelang akad nikah. Ritual ritual adat di lakukan Rian dan Rianti secara berurutan sesuai dengan adat Yogyakarta. Hari yang di tunggu tunggu pun tiba. Rianti sedang merias diri agar penampilannya nanti tetap perfect. Hanya diam dan senyum senyum di depan cermin.
          Suara alunan gamelan pun dilantangkan, tanda di mulainya acara akad nikah pagi itu. suasana yang amat teramat sakrar pun makin kuat, ketika Rian mengucapkan ijab Kabul.
          Entah aa yang membuatnya gerogi di depan wali nikah. Sampai sampai mengucapkannya seperti kilat halilintar bah di pagi hari. Dengan secara cepat dan lantang, ijab Kabul Rian di sahkan oleh para wali dan hadirin yang menyaksikannya.
**
          Siang harinya dilakukan acara resepsi yang menyaksikannya. Para hadirin yang datang berbaris rapi untuk memberikan selamat kepada kedua mempelai itu.
Tapi tiba tiba..
          Rianti tergeletak jatub tak berdaya dengan darah yang mengalir di hidungnya. Semua orang kaget, tak terkecuali Rian yang sekarang telah resmi menjadi suaminya. Tak lama ambulanpun datang, membawa Rianti ke rumah sakit. Suasana resepsi pernikahannya menjadi kacau balau, akren pingsannya Rianti.
**
-Rumah Sakit-
          Rian yang terlihat dari tadi mondar mandir dengan pakaian resepsi yang masih melekat di tubhnya, sangat cemas dengan keadaan isterinya yang sedang di tangani di UGD. Dokter yang menangani Rianti akhirnya keluar.
“Dok, gima keadaan istri saya?” Tanya Rian cemas
“Tenang pak! Ngomongnya di ruangan saya saja ya,!”
          Sesampainya di ruangan dokter
“Isteri bapak mengalami kanker otak! Mungkin sebelumnya, isteri anda pernah mengalami benturan?” jelas dokter.
“A.. apa dok? Kanker otak? Sudah stadium berapa?” Tanya Rian khawatir.
“Tenang dulu! Isteri anda sudah level akut dan tidak lama lagi waktunya! Tapi jawab pertanyaan saya dulu dong!”
“Ok. Dulu dia pernah jatuh dari tangga!”
“Mungkin itu sebabnya dan pikiran yang teralu banya dalam otaknya.”
**
          Hari hari kritis Rianti di lewati di lewati dengan air mata. Ia teringat akan keadaan ia dulu yang mengalami masa kritis seperti itu.

          Suatu ketika azal pun menjemput Rianti dengan tenang. Duka yang sangat dalam di rasakan Rian. Padahal ia baru saja resmi menjadi isterinya. Isak tangis mewarnai pemakaman Rianti. Seluruh keluarga besarnya turut berkabung dalam duka cita ini.

Cr: Indah Tedianna

22 Oktober 2013

Sosok



Brakkk.. Suara buku buku berjatuhan ke bawah lantai. Niki, memandang kebawah, melihat buku bukunya yang sekarang telah berserakan dibawah lantai. Sesaat hening, ia kembali mendongkakan wajahnya kedepan. Melihat siapa yang telah menubruknya tadi.
          Tatapan matanya menuju arah wanita itu. Wanita itu memang sedikit lebih pendek dibanding dengan tubuh Niki yang tegap dan tinggi. Tapi, jauh dari kesempurnaan itu. Niki sering melihat dari tatapannya yang begitu memikat hati, bola matanya yang begitu indah.
“Sorry!” hanya kata itu yang telontar dari mulut wanita itu, kemudian pergi. Dia Angel, tepatnya Angel Lasmana. Niki memandang punggung Angel yang kian makin jauh dari lorong sekolah.
**
“Ku pasrahkan hatiku.. Takdir ‘kan menjawabnya. Jika aku.. bukan jalanmu.. Ku berhenti merindukanmu.. Jika aku, memang tercipta untukmu.. kukan memilikimu..” Suara itu begitu merdu untuk didengar. Hening, tak ada suara selain nyanyian merdu itu diruang musik. Benar benar, sampai kelubuk hati. Memikat para wanita untuk menyukainya.
          Sedetik kemudian, sesaat dia telah menyanyikannya baru terdengar tepuk tangan dari seseorang. Niki terdiam, dadanya berdebar mengetahui siapa yang mendengar suara sejelek dirinya. Ah.. ini bukan jelek, namun hanya firasatnya yang mengatakan begitu. Pandangannya beralih pada satu titik di pintu, perlahan ia melihat sosok yang memberikan applause padanya.
          Beruntung, bukan yang dimaksudnya. Bukan Angel, yang selama ini berada dihatinya. Dia Ar, sahabatnya. Teman dari kecilnya yang lama kelamaan menjadi sahabatnya. Ar tersenyum simpul, sesaat memasuki ruang musik yang sepi ini. Dia tau, sangat tau sifat Niki yang begitu pemalu terhadap suaranya. Tapi dibalik itu, ia sangat mengagumi suara Niki yang menurutnya unik tapi terkesan lembut. Mungkin kalau disamakan seperti suara penyanyi kelas atas.
“Keren!” Ar memujinya penuh rasa percaya diri. Jarang, ia bisa mengucapkan kata itu pada seseorang. Bahkan ini baru yang pertama kalinya, Ar memuji Niki. Niki menarik nafasnya, kemudian menghempaskannya keluar.
“Ngapain kamu kesini? Bukannya kamu masih marah sama aku?” Niki menatap tajam gadis itu. Seharusnya ia mengucapkan terimakasih pada Ar yang jelas jelas memujinya untuk pertama kalinya. Tapi setelah memutar kembali ingatan otaknya, ia baru teringat, tadi ia sempat bertengkar dengan Ar hanya karena masalah ‘sepele’. Tapi ia sangat mengucapkan terimakasih pada Ar di lubuk hatinya pada sosok gadis itu.
          Ar menghentikan langkahnya, ketika Niki melontarkan kata itu. Ups.. salah lagi. Kenapa ia bisa lupa tentang pertengkarannya dengan Niki , tadi? Gengsi, jika harus menarik perkataannya tadi yang jelas jelas ia sempat memuji Niki.
“Kok diam, kenapa? Bukannya tadi kamu marah sama aku? Terus sekarang kamu muji aku, masuk keruangan ini tanpa seizin aku pula lagi?” Ar diam, tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia menggerutu dirinya sendiri, kenapa harus bisa lupa sih? Apalagi saat ini, Niki semakin memojokannya dengan perkataannya.
“Ckc.. ah..” Ar pergi keluar ruangan musik, setelah memikirkan tindakan apa yang harus dilakukannya. Dari pada harus berdiri disana, lalu menarik perkataannya yang jelas jelas ia telah memuji Niki tadi. Bisa mati gaya.
**
          Ar memantulkan bola basketnya. Kemudian memasukannya ke dalam ring. Suasana disekolah saat ini sepi. Semua pada munuju sosok Angel yang tengah mengadu bakatnya bermain biola, di aula sekolah. Baginya, bagi seorang perempuan tomboi sepertinya rasanya sangat tak tetarik dengan hal itu. Hal yang membuatnya bosan, mengantuk jika mendengar alunan biola dari tangan Angel.
          Ar terdiam, setelah mengetahui keberadaan sosok yang tengah duduk di tepi lapangan basket. Ia memantulkan bolanya asal asalan, entah menuju mana. Kemudian berbalik badan menuju belakang.
          Di lihatnya, sosok Niki yang tengah memandangnya dari tempat duduk di tepi lapangan basket. Entah, sekarang mengapa jantungnya jadi berdebar ketika melihat Niki menatapnya dengan begitu. Ia berjalan, menuju kearah Niki perlahan. Menunduk, takut perasaan yang tak menentu itu datang lagi. Entah, ia juga tak tahu apa ini. Yang jelas, selama beberapa hari ini ia sering merasakan bedebarnya jantungnya, salah tingkah ketika Niki memandangnya begitu.

“Nggak lihat Angel?” Ar memulai pembicaraan, kemudian duduk di samping Niki. Ia melihat penampilan Niki yang begitu kusut, baju seragamnya yang ia keluarkan, begitu rambut yang menurutnya sangat sangat berantakan. Tak seperti Niki yang selalu mengutamakan kerapian. Kali ini berbeda. Niki menengok kearah Ar, menggeleng kecil.
“Nggak?”
“Kenapa? Bukannya kamu suka sama Angel?” Ar berbicara hati hati ketika mengucapkan kata yang terakhir itu- Angel. Niki menengok kearah Ar lagi, mengerutkan dahinya. Bagaimana ia bisa tahu tentang perasaannya terhadap Angel? Padahal, seingat Niki, ia tak pernah sedikitpun bercerita tentang sosok yang selama ini di sukainya.
Sedetik kemudian hening. Ar terdiam, mungkin perkataannya salah sampai bisa membuat Niki juga ikut terdiam. Sesekali ia memandang Niki yang tengah terdiam, entah sedang melamun tentang apa.
“Maaf,” Ar mengucapkan kata itu pelan. Terasa kaku, memang. Meskipun mereka bersahabat dari kecil sampai saat ini- SMA, tapi mereka tak selalu banyak cerita. Ini yang unik, persabatan yang biasanya diiringi dengan cerita cerita yang selalu mengundang tawa, namun untuk dua sosok ini berbeda. Jarang sekali Niki maupun Ar bercerita tentang kehidupannya masing masing. Paling jika bercerita hanya hal hal penting, yang lalu membuatnya sedikit berbeda pendapat kemudian menjadi bertengkar.
“Buat? Tak apalah.. Terus, kamu nggak liat Angel juga? Kenapa?”
“Malas. Acara bikin ngantuk begitu di tonton. Mungkin nanti aku bisa tertidur disana.” Ar terkekeh atas pertanyaannya. Niki mengulas senyum kecil kearah Ar, memandang Ar sesaat yang tengah menertawai dirinya sendiri.
**
**
“Mm.. Nik!” panggil Ar pelan, ketika Niki berjalan melewati samping tubuhnya. Suaranya sedikit kaku, ketika memanggil Niki yang tengah berjalan bersama gerombolan teman temannya. Niki memberhentikan langkahnya, ketika mengetahui ada suara yang memanggilnya dari belakang. Ia menengok kearah belakang, melihat Ar yang tengah bediri, mengumpatkan kedua tangannya kebelakang.
“Kenapa?” Niki mendekat kearah Ar, ketika teman temannya sudah pergi duluan. Ar jadi kikuk lagi, entah mengapa jantungnya semakin bedebar tak karuan, tak menentu.
“Mm.. Nik..
“Kenapa sih, Ar?” Niki menjadi penasaran apa yang ingin Ar bilang. Ia melihat tubuh Ar yang sedikit begetar, wajahnya pucat tak biasanya. Ar menunduk. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan apa yang terjadi padanya saat ini. Entah mengapa, tangannya jadi dingin, tak berani menatap Niki yang mungkin sekarang sudah bête menunggu apa yang ingin di katakannya.
“Nanti jadi kan antar aku pulang?” Ar langsung pergi, sebelum mendapati jawaban dari pertanyaannya terhadap Niki. Tak tahan, dengan apa yang dirasakan olehnya saat ini. Desiran itu muncul lagi, menyelimuti ombak ombak di hati Ar.
Niki menggelengkan kepalanya perlahan, melihat Ar yang bersikap aneh padanya saat ini. Ia tertawa kecil, memandang tubuh Ar yang makin lama menjauh darinya.
**
“Terus, kamu di rumah sendirian?” Niki sesekali menengok kearah belakang, sembari menyetirkan sepedanya menuju rumah Ar. Ar mengangguk, ia menunduk. Sama seperti tadi siang di sekolah, perasaannya itu terus bergelut di hatinya. Tak menentu, sejak kapan hal itu tumbuh. Ar juga tak mengerti apa artinya ini.
“Aku temenin kamu ya?”
“Nn.. nggak usah!” Ar menjawabnya singkat. Niki mendecak pelan. Sedari tadi Ar di tanya olehnya hanya menjawab, iya atau tidak. Sangat singkat. Niki memberhentikan, sepedanya di depan rumah Ar. Ia memandang rumah Ar yang terlihat sedikit berbeda. Mungkin, terjadi sedikit renovasi terhadap rumah Ar.  Sudah lama, ia tak kerumah Ar. Padahal rumahnya masih satu blok dengan Ar.
“Makasih!” Ar turun, kemudian bediri di depan rumahnya. Niki menatap Ar. Tak tahu, kenapa matanya saat ini susah untuk ia gerakan. Rasanya terlalu indah untuk menatapnya, walau hanya sebentar. Sedetik kemudian, Niki menggelengkan kepalanya pelan, ketika baru sadar apa yang ia lakukan.
“Yakin, kamu nggak mau di temenin sama aku? Lagi pula, mamah sama papah kamu kan pulangnya malam?”
“Nggak usah, Nik!” Ar tersenyum. Niki menangguk mengerti. Mungkin, lain kali ia bisa berkunjung kerumah Ar yang sudah lama tak ia sentuh.
“Yaudah, aku duluan. Kamu hati hati dirumah! Kalau ada apa apa, telfon aku aja!” Ar tersenyum lagi kearah Niki. Niki menjalankan sepedanya kearah rumahnya. Ia melambaikan tangannya kearah Niki, yang mulai menjauh darinya. Hati hati, ia berbisik pelan
**
“Angel..” Niki terdiam, ketika ia berpapasan dengan Angel menuju ruang perpustakaan. Ia memandang Angel, kemudian mengulas senyumnya. Tapi.. entah apa yang membuatnya memandang Angel secara detail, ketika menyadari penampilan Angel yang begitu kusut hari ini. Angel menunduk, mengahapus air matanya yang terus menerus turun dari matanya. Merasa telah baikan, ia kemudian mendongkak kearah Niki yang tengah menatapnya sendu. Mengulas senyum samar, tanda ia baik.
“Kenapa? Kamu nangis?” Meskipun Angel sudah menghapus air matanya, tapi hal itu masih bisa dirasakan oleh Niki bahwa Angel tengah menangis tadi. Entah, mengapa kali ini. Rasanya, ingin sekali memeluk gadis itu, kemudian menghapuskan air matanya lembut. Sedetik kemudian, Angel memeluk Niki tiba tiba. Memeluknya erat. Suara tangisan itu mulai terdengar, dalam pelukan Niki. Ia butuh penghibur untuk kali ini.
**
“Niki!!” Ar terdiam, nafasnya mulai tak menentu. Antara marah dan kecewa bercampur aduk di hatinya. Apa yang dilakukan Niki memang sangat keteraluan. Tak bisakah, Niki mengerti perasaan dirinya yang tengah di gelut rasa asmara yang salah?
          Niki yang mendengar suara Ar langsung menjauh dari tubuh Angel. Ia sadar, apa yang barusan lakukan. Mungkin, tadi ia hampir sempat mencium Angel yang bukan muhrimnya. Dan hal itu mungkin sudah terjadi, jika tak ada suara khas dari Ar yang memanggilnya.
“Ar..” Niki memandang Ar yang tengah diam menatapnya tajam. Sedetik kemudian, Ar langsung pergi meninggalkan Niki dengan Angel di lorong sekolah yang sudah sepi ini. Suara hentakan kaki dari Ar sangat terdengar, di iringi dengan isak tangis Ar yang terdengar kecil. Meskipun begitu, Niki mendengarnya. Mendengar dan merasakan bahwa Ar tengah menangis karenanya.
“Maaf,!” Niki menatap Angel sebentar, kemudian belari menyusul Ar yang tidak terlihat. Ada perasaan bersalah terhadap sosok gadis itu. Entah, dari mana asalnya.
**

Cr: Mardita Khusnulia